20 Mei 2009

ROMANTISME SENJA SORE ITU

Mendung sore itu memang tidak bersahabat. Entah kapan datangnya tiba-tiba saja awan gelap meliputi langit kota kecilku ini. Padahal seingatku ketika mulai masuk ke kost Fadhilah, kemudian berbincang-bincang dengannya, tidak memakan waktu yang cukup lama. Apa hanya perasaanku saja yang mengatakan demikian? Karena memang kami telah cukup lama tidak bertemu. Hingga pertemuan yang sebenarnya cukup melelahkan hanya untuk ngobrol itu terasa demikian singkat.
Aku dan Tami singgah dikost Dhila setelah seharian berkeliling seantero kota Ponorogo. Ku perlihatkan kota kecilku yang sering kuceritakan padanya itu. Mulai bermain kerumah salah seorang teman di selatan kota, shalat Dhuhur di masjid agung kota Ponorogo, dan rencananya bermain ditaman kota dekat alun-alun sore nanti setelah ashar.
Bermain ke sana tidak lengkap jika tidak mampir ke Graha Krida Praja. Mencoba menapaki lantai 8 bangunan tertinggi di kotaku itu. Sekalian bercengkerama bersama singa-singa yang kokoh di depan pendopo. Patung-patung singa tepatnya. Menelusuri sejarah Jawa kuno yang penuh mistik dengan balutan cerita cinta Dewi Songgolangit putri Kediri yang patungnya anggun ditengah air mancur taman. Putri yang keelokannya membawa Klono Sewandono mempersembahkan kesenian Reog untuk meminang sang putri diantara para pelamar lain yang tidak sedikit jumlahnya.
Cuaca memang kurang pas saat jam-jam sekian. Panas yang masih menyengat bisa mengucurkan bulir-bulir keringat sebesar jagung. Akhirnya kami putuskan mampir untuk silaturahmi sekalian shalat Ashar di kos salah satu temanku. Atas usulku tentunya. Ku belokkan kearah kiri kuda besi yang sebenarnya telah tepat berada di depan pendopo alun-alun.
“Nanti sajalah Tam kesininya, masih panas banget gini…”
“Yoi, ku ngikut sajalah, kan kamu yang lebih tahu sudut-sudut kotamu”.
Saking asyiknya ngobrol ngalor ngidul aku tak menyadari kalau mendung itu sudah mulai bergelayut di atas sana. Sampai sebuah sms masuk kelayar hp di salah satu kantong tasku.
“Nduk, sampun sonten kok dereng mantuk, tasik wonten pundi?”
Sender: Aby asy Syafiq +6285259644xxx
Sent: 29 Jan 2009 16:15:26
Langsung saja kujawab kalau aku masih bertamu di kost Dhila dan akan segera pulang ke rumah. Beliau sudah faham siapa Dhila, karena dia sudah beberapa kali berkunjung ke rumahku. Aku lupa waktu. Kalau sudah begini orang rumah pasti khawatir sekali. Apalagi dengan keadaanku sekarang yang tidak sendiri. Maksudnya aku mengajak seorang teman, Tami, yang sedang singgah di rumah kecilku di awal liburan semester III ini. Pastinya mereka tidak hanya menghawatirkanku saja, tapi juga tamu yang aku bawa tentunya.
Di tengah perbincangan aku keluar. Sampai Dhila dan Tami heran.
“Ada apa Fid, masih enak-enak ngobrol kok ngeloyor gak pake pamit?”, tanya Tami sambil mengikuti langkahku yang mulai beranjak dari tempat duduk.
”Mendung nich, kok ndak ada yang kasih tahu sich… Kalau nanti kehujanan gimana dunk! Mana belum shalat ashar lagi…” Gerutuku pada mereka sambil menunjuk ke arah langit yang mulai di penuhu awan gelap disana-sini.
“Sapa juga sich fid yang tahu, dari tadi lho kita di dalam semua, yaw dach shalat dulu aja kalo gitu”, saran Dhila sambil mengangsurkan sandal jepit khusus kamar mandinya.
Langit memang sudah di penuhi awan gelap. Seakan hujan tinggal turun sewaktu-waktu bahkan dalam hitungan detik. Kamar kost ukuran 2x3 itu jika ditutup pintunya memang tidak begitu jelas jika ingin melihat keluar. Apalagi dengan kaca jendelanya yang tidak begitu terang ditambah gordennya ditutup. Lebih-lebih rerimbunan pohon mangga yang menjulang didepan kamar kost Dhila itu pastinya juga menghalangi pandangan kami. Segera kami shalat dan bersiap pulang. Yang pastinya dengan segala kemungkinan kehujanan dijalan.
Sebenarnya Dhila sudah menyarankan untuk menginap saja di kostnya. Karena dia di sana pun tinggal sendiri. Beberapa kamar kost di sampingnya masih terlihat kosong tak berpenghuni. Kos-kosan itu memang tidak dibuka untuk umum. Dia bisa menempati tempat itupun karena masih ada hubungan keluarga. Tapi dengan segala pertimbangan aku putuskan pulang. Bukan hanya karena tidak enak saja dengan tamuku yang satu ini yang pastinya masih asing dengan Dhila yang baru dia kenal, terlebih juga mempertimbangkan kekhawatiran kedua orang tuaku dengan serentetan smsnya. Memang susah jadi anak perempuan satu-satunya.
Segera ku geser motor hasil jerih payah bapakku itu dari pelataran kost Dhila. Kuangsurkan helm kepada Tami yang juga sudah siap berangkat meneruskan perjalanan kami seharian itu.
“Dik, mendung banget ni, beneran gak mau nginep sini aja?” Dhila memang terbiasa memanggilku dik. Selain karena usianya terpaut 1 tahun lebih sedikit denganku, juga karena aku memanggilnya mbak. Calon mbak buat mas sepupuku.
“Gak ah mbak, lain waktu saja. Kalau gak cepet pulang bisa-bisa dismsin trus ni ma bapak. G’pa-pa yach!” Aku sudah siap diatas motor lengkap dengan helm. Ku benarkan lagi letak jas hujanku digantungan depan dibawah kunci.
“Hati-hati dik, kalau dah sampe rumah sms ya… salam buat Bapak Ibu”. Dan seulas senyum manis itu tersungging dibibirnya. Memang itu mungkin alasan mas sepupuku memilih dia. Bukan hanya manis senyumnya, tapi juga manis hatinya. Dan lambaian tangannya pun tak luput mengantarkan kami yang semakin lama semakin menghilang setelah kami membelok ke arah kiri disebuah perempatan kecil.
Dan motor yang setia menemaniku itu pun mulai melaju di bawah naungan awan hitam menembus jalan-jalan protokol kota Ponorogo. Kulirik Tami yang terlihat resah ku bonceng di belakangku. Pasti dia juga khawatir jarum-jarum air itu turun sewaktu-waktu. Namun sesekali sepertinya dia juga mencoba menikmati keelokan kotaku disore hari itu.
‘Rek, ga’ pa-pa ya kalau kehujanan?” kataku di tengah deru motor yang masih mencoba melaju di tengah jalanan berdebu sore itu.
“Ga’ pa-pa Fid, santai ae wis…. Ya kalau nanti hujan ya berteduh di pinggir jalan”. Belum sempat kata-kata itu selesai di ucapkannya, ternyata rintik-rintik kecil itu sudah mulai berjatuhan satu-satu.
Awalnya aku masih menikmatinya. Aku belum berhenti untuk berteduh ataupun hanya sekedar berhenti barang sebentar untuk memakai jas hujan di gantungan itu. Aku menikmatinya seakan ada romantisme tersendiri kalau sedang gerimis seperti ini. Ada susana syahdu penuh haru biru di relung kalbu. Ya, karena ada kenangan diperjalanan ditengah gerimis kecil semacam ini. Tapi lama kelamaan semakin lebat saja titik-titik airnya. Hingga kerudung biru berbunga kesayanganku ini mulai basah disana-sini dan wajahku terasa perih tertusuk tajamnya jarum-jarum air itu..
Segera kubelokkan motorku tepat di parkiran depan sebuah hotel dipinggiran kotaku. Ya walaupun kecil, ada lah hotel di kotaku ini. Aku memilih tempat itu karena memang kebetulan hujan mulai deras disana, pun juga tempat parkirnya cukup luas dan leluasa untuk berteduh. Selain itu bukan hanya aku saja yang berteduh di sana. Masih ada seorang bapak penarik becak dan seorang pemuda pengendara sepeda motor yang juga sedang menanti curahan air dari langit itu mulai reda.
Segera ku lepas helm yang tadi sudah kupakai sejak dari kos Dhila. Ku lihat Tami pun melakukan hal yang tidak jauh berbeda. Dan dengan sedikit mengibas-ngibaskan jilbab biruku aku mencoba menahan laju basah terpaan hujan tadi. Jadi gak nyaman gimana gitu rasanya kalau sudah basah-basahan begini.
“Yo po rek hujan gini…, ”
“Ya dah, mau gimana lagi. Nunggu redanya sekalian aja. Kayaknya hujannya bakalan cukup lama ni”. Kata Tami yang mulai mencari tempat duduk yang cukup nyaman untuk berteduh di tengah derasnya hujan. Masih ku lihat lalu lalang kendaraan yang nekat menerobos derasnya hujan. Aku lebih memilih berteduh saja. Karena kadang tetesannya itu terasa tajam dan menusuk kalau sedang deras-derasnya. Apalagi jika di tambah mengendara dengan kecepatan agak tinggi, pandangan yang mulai kabur membuat nyaliku ciut untuk bisa sampai dengan selamat sampai rumah.
Sambil menanti hujan reda kami berbincang mengenai perjalanan liburan kami beberapa hari ini. Mulai mengulang kisah dia pertama kali sampai di terminal kotaku disambut dengan hujan yang deras pula, sampai rencana esok hari akan pergi kemana lagi. Aku jadi kasihan sama Tami, sejak awal datang kok disambut hujan terus. Tapi ya mau bagaimana lagi, memang sedang musimnya. Tapi yang menyedihkan semacam ini biasanya lebih menggoreskan kesan yang berbeda. Perbincangan itu masih mengalir seperti genangan-genangan kecil dipinggir jalan itu hingga seorang bapak penarik becak yang juga berteduh tadi menyapa kami.
“Saking pundi mbak, daleme pundi lho?”
Kami pun memutuskan perbincangan kami, kemudian mulai dengan perbincangan baru dengan beliau. Beliau menanyakan kami datang dari mana, dimana alamat kami hingga sampai pelataran parkir hotel kecil itu sore-sore seperti ini. Sempat kulihat beliau membersihkan lumpur-lumpur dan beberapa dedaunan kering yang menempel di tangannya. Kulihat tadi beliau membenarkan selokan kecil diujung pelataran parkir yang tergenang tidak bisa mengalir karena ranting-ranting kecil. Masih ada orang peduli walaupun atas barang yang bukan miliknya ditengah kehidupan yang semakin hari semakin keras ini.
Awalnya perbincangan kami hanya mengalir biasa berkutat tentang kegiatan sehari-hari. Mulai kuliah dimana, sudah berapa lama kuliahnya dan perbincangan biasa diantara orang yang baru pertama kali bertemu. Sampai pada saat sms dari bapak masuk menanyakan kembali dimana posisiku sekarang. Segera kusampaikan pada beliau kalau aku masih berteduh di tengah hujan lebat di depan hotel Ramayana. Karena aku tidak ingin beliau khawatir sesore ini aku belum sampai rumah. Sepertinya beliau mengamati aktifitasku membaca sms itu dan membalasnya. Tiba-tiba perbincangan itu lebih terasa berbeda bagiku.
“Sudah lama ya mbak pegang hp?” Tanya beliau tiba-tiba. Kujawab saja kalau kira-kira satu setengah tahun ini. Memang aku baru bisa membawa benda bertuts ini setelah aku keluar dari pesantren dan meneruskan kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Islam Negeri di Surabaya. Dan cerita beliaupun mengalir begitu saja.
“Dulu sebelum ada hp, saya masih banyak pelanggan mbak. Mangkal dipinggiran jalan masih ada yang membutuhkan becak ini”, kata beliau sambil mengelus kecil becak itu. Kulihat memang sudah agak tua. Sepertinya memang sudah sekian lama menjadi sumber penghidupan beliau. Tapi sepertinya tidak rapuh dan masih kukuh sebagaimana pemiliknya yang sekarang berdiri di sampingku. Dan hujanpun sepertinya masih enggan beranjak dari sini. Begitupun awan gelapnya.
“Maksud bapak pripun? Sekarang masih demikian kan pak? Sabut kelapa ini memangnya minta diantar kemana Bapak?” Sahut Tami prihatin, mencoba ikut merasakan kegundahan yang beliau coba bagikan kepada kami.
“Ini dari pasar mbak, buat ibunya anak-anak. Ya buat masak, kayu mahal, apalagi minyak tanah dan gas”. Ach ada rasa yang tiba-tiba menyelusup di relung kecil hatiku ini.
“Sekarang setelah banyak yang punya hp, orang-orang bisa saja menghubungi orang-orang dirumahnya. Minta dijemput dimana tinggal sms atau telpon. Lha terus gimana dengan kami-kami kaya gini”. Kata beliau dengan seulas senyum. Senyum getir.
“Lha terus sekarang dimana pak mangkalnya. Masih dipinggir jalan seperti dulu?”. Perbincangan itu kian terasa hangat di tengah angin dingin hujan deras sore itu. Alhamdulillah tidak diwarnai petir-petir yang menggelegar.
“Ya Alhamdulillah mbak, walaupun tidak sebanyak dulu setidaknya sudah cukup lah buat saya sekeluarga. Kalau tidak ada langganan mengantarkan anak-anak sekolah ataupun taman kanak-kanak dari perumahan Griya Asa saya tidak tahu dimana lagi saya bisa memutar pendapatan yang sekian ini”.
Memang suatu hal yang biasa di kotaku ketika anak-anak usia sekolah itu diantar jemput dengan jasa beliau-beliau ini. Selain para orang tua yang tinggal di kota dengan segala kesibukannya ini bisa mempercayakan keamanan mereka kepada orang tertentu, tapi juga biayanya yang sepertinya memang lebih murah daripada mereka harus mengikutkan anak-anaknya dengan mobil jemputan sekolah. Lain halnya jika mereka di lepas untuk pulang pergi sekolah sendiri dengan kendaraan umum misalnya. Pasti akan lebih banyak faktor lain yang akan muncul selain kurang aman dan biaya. Tapi juga mereka akan semakin tidak terkontrol tanpa pengawasan orang yang lebih tua.
“Langganannya kelas berapa saja Bapak?”. Tanyaku sambil masih terus berharap hujan ini semakin reda. Bukan karena aku tidak suka berbincang dengan beliau, tapi sore yang semakin mendekati malam ini pastinya akan segera menjelang seperti beberapa lampu jalan yang mulai bersinar redup di keremangan jalan. Sambil sesekali melirik jam tangan hitam yang melingkar di lengan kiriku. Hanya memastikan dan mengira-ngira waktu aku kembali nanti sudah adzan maghrib belum ketika sampai rumah.
“Yang satu masih taman kanak-kanak, ada juga yang kelas 1 SD, dan yang satunya lagi kelas III. Jadi nanti yang SD diantar lebih dulu sekitar jam 7 kurang, yang TK agak siangan sedikit sekitar 07.30. Pulangnya ganti yang TK terlebih dahulu baru yang SD”. Beliau diam sesaat sembari mengamati keadaan sekitar.
“Mbak, sepertinya hujannya sudah tidak terlalu deras, lagipula sudah sore, apa tidak sebaiknya mbak segera pulang saja”. Kata beliau setelah mengamati hujan yang memang sudah mulai berkurang derasnya ini. Ku hulurkan tanganku mencoba merasakan seberapa tajam jarum-jarum air itu menghujam tanganku.
“Oh, Inggih Bapak, matur suwun, kalau begitu kami duluan nggih, sudah ditunggu Bapak Ibu di rumah. Mudah-mudahan rezekinya tambah lancar bapak”. Harapku tulus. Kami pun mulai bersiap dengan segala perlengkapan. Mulai mencari kunci yang tadi saya selipkan disaku, memakai helm dan jas hujan. Ya walau pada kenyataannya kami sudah basah, tapi tak ada salahnya memakainya. Karena bukan tidak mungkin jika didepan sana nanti hujan masih turun deras seperti tadi.
“Amiin… Hati-hati mbak, tidak perlu terburu-buru, jalanan masih licin”. Kata beliau sambil ikut bersiap-siap juga untuk beranjak dari pelataran parker itu.
“Inggih Bapak, monggo… Assalamu’alikum”, kusunggingkan senyum sambil berpamitan kepada beliau. Dan salam itu kudengar sebelum aku memasukkan gigi motorku setelah kupanaskan sebentar setelah kehujanan tadi. Dan aku pun mulai melaju dengan Tami di senja menjelang malam di bawah naungan temaram lampu jalan dan rintik-rintik kecil hujan sore ini.
Entah mengapa perbincangan tadi masih terekam dibenakku. Sampai-sampai aku masih berdialog dengan hatiku sendiri sambil tetap menjaga keseimbangan laju motorku. Seakan aku menemukan romantisme baru di senja sore ini. Bukan romantisme cinta yang katanya indah itu. Tapi romantisme kehidupan yang mempunyai liku-liku tersendiri bagi setiap yang menjalaninya. Dan memang hanya lewat belajar dan pengalaman kita bisa memahaminya.
Dulu aku sempat sedikit berbincang dengan teman-teman dipesantren, apa saja sich madharat hp disamping manfaatnya bagi kehidupan kita ini? Karena kadang kami masih berontak dengan adanya larangan membawa hp di pesantren kala itu. Sebagian dari kami hanya memahaminya bahwa itu akan hanya akan membawa dampak negatif bagi moral mereka, individu-individu yang tidak bisa memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Apalagi fitur-fiturnya yang semakin hari semakin canggih itu semakin memudahkan manusia mengekspresikan keinginan-keinginannya.
Tak pernah terpikirkan oleh kami bahwa semua itu akan membawa dampak sosial juga sebagaimana yang dialami bapak tadi. Tidak hanya bapak itu saja pastinya. Bahkan mereka-mereka yang selama ini berjasa seperti tukang ojek, sopir angkot, bus kota dan sebagainya yang juga kehilangan pelanggan dengan adanya kecanggihan teknologi ini. Dan tentunya masih banyak lagi yang lainnya yang mungkin sampai saat ini belum ku pahami sepenuhnya.
Akhirnya disepanjang jalan sore itupun aku dan Tami juga membicarakan pengalaman yang baru saja kami dapatkan. Setidaknya aku tidak berdialog dengan hatiku sendiri lagi seperti tadi. Yang pastinya pembicaraan sambil mengendarai motor yang tengah melaju di perjalanan pulang kami setelah seharian berkeliling kota Ponorogo.
Hingga akhirnya kami sampai di batas desa tempat dimana diriku dilahirkan. Dan dengan basah kuyup dengan rasa dingin yang masih terasa, kami hanya terlongo takjub. Bagaimana tidak!!! Hujan yang mengguyur sederas itu ternyata tidak menetes sedikitpun dijalan-jalan desaku yang masih tetap kering dan berdebu.
Dan gumaman Subhanalloh itu masih kami decakkan hingga sampai depan rumah diiringi tatapan khawatir kedua orang tuaku serta adik manisku yang sedang berlibur juga dari pesantren yang sealmamater denganku. Dan adzan Maghrib di surau ujung gang itu mulai berkumandang seiring dengan berhentinya deru mesin motorku ini. And the last… Senja sore itu semakin terasa romantis lagi ketika kami sekeluarga plus Tami berjalan beriringan menuju surau melewati jalan yang masih saja berdebu tanpa siraman hujan ini.
al Fagheeya Mei 2009



No Idea

Judul ini pernah aku dapatkan di blog seseorang, tapi lupa di mana alamatnya. Tapi yang pasti aku memang sedang no idea sama sekali buat ngisi blog ini dengan posting apa. Aku kadang hanya mencantumkan beberapa lirik nasyid yang sedang aku suka. Padahal masih banyak lagi yang lainnya di liriknasyid.com. Aku pun kadang hanya menuliskan kisah-kisah kecilku, pengalaman-pengalaman yang... ya begitulah. Sedemikian biasa memang buat di bahas.
Kadang aku tidak percaya diri untuk menuangkan semuanya disini. Jika sudah mulai melirik blog milik rekan-rekanku yang demikian wah dengan keintelektualan (dalam pandanganku). Sementara diriku hanya bisa berimajinasi dengan segala hal yang bernafaskan fiksi semacam ini.
Aku memang belum lepas dari tujuan pertamaku membuat blog ini. Blog ini diaryku. Sebelum aku mengenal lebih dekat wajah blog sebelumnya, aku memang memahaminya sebagai diary on line. Itu pun baru kata teman-temanku. Jadi kita bisa menuangkan apa saja yang ada dalam pikiran kita tanpa harus malu dengan hanya menyimpannya menjadi sebuah buku yang hanya untuk diri pribadi kita saja.
Aku membuat blog ini pun hanya untuk kepuasan saja. Kepuasan ketika aku bisa menuangkan apa yang ada dalam pikiranku. Diiringi harapan mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi yang membacanya. Aku demikian senang kalau sudah menemukan blog yang penuh inspirasi dalam menjalani hidup ini. Yang biasanya juga berisi pengalaman-pengalaman kecil yang dipandang dengan kacamata yang berbeda. Seperti blognya mbak Helvy, mas Faiz. Ringan, tapi mengena dalam hati.
Kadang aku merasa apa yang aku lakukan ini sia-sia. Tapi apa salahnya mencoba. Mencoba berbagi. Berbagi dengan sedikit yang kita miliki ini. Sedikit yang siapa tahu brmakna lebih bagi mereka yang mempunyai sudut pandang yang berbeda dengan kita. Sudut pandang yang membaca apa yang di depan mereka dengan arif.
Wah apalah ini. Mungkin hanya sekedar dialog hati yang mengungkapkan kekecewaan atas diri sendiri yang... yah demikian ini.
Tapi sepertinya kekecewaan itu bukan suatu hal yang positif dech! Kenapa harus kecewa dengan segala nikmat yang sudah di berikanNya. Sepertinya aku harus mulai menambah jam pelajaran dengan materi syukur nich!
Ya mpun dulu lah. Apalah ini, yang memang ini yang sekarang ada dalam bilik kecil hatiku. See ya...

Sebuah Pertemuan

Album : See You D IPT
Munsyid : Unic
http://liriknasyid.com

Ketika diri mencari sinar
Secebis cahaya menerangi laluan
Ada kalanya langkahku tersasar
Tersungkur di lembah kegelapan

Bagaikan terdengar bisikan rindu
Mengalun kalimah menyapa keinsafan
Kehadiranmu menyentuh kalbu
Menyalakan obor pengharapan

C/O 1:
Tika ku kealpaan
Kau bisikkan bicara keinsafan
Kau beri kekuatan, tika aku
Diuji dengan dugaan?
Saat ku kehilangan keyakinan
Kau nyalakan harapan
Saat ku meragukan keampunan Tuhan
Kau katakan rahmat-Nya mengatasi segala

(*) Menitis airmataku keharuan
Kepada sebuah pertemuan
Kehadiranmu mendamaikan
Hati yang dahulu keresahan

Cinta yang semakin kesamaran
Kau gilap cahaya kebahagiaan
Tulus keikhlasan menjadi ikatan
Dengan restu kasih-Mu, oh Tuhan

C/O 2:
Titisan air mata menyubur cinta
Dan rindu pun berbunga
Mekar tidak pernah layu
Damainya hati
Yang dulu resah keliru
Cintaku takkan pudar diuji dugaan
Mengharum dalam harapan
Moga kan kesampaian kepada Tuhan
Lantaran diri hamba kerdil dan hina

Ulang (*)

Syukur sungguh di hati ini
Dikurniakan teman sejati
Menunjuk jalan dekati-Nya
Tika diri dalam kebuntuan

Betapa aku menghargai
Kejujuran yang kau beri
Mengajarku mengenal erti
Cinta hakiki yang abadi

Tiada yang menjadi impian
Selain rahmat kasih-Mu Tuhan
Yang terbias pada ketulusan
Sekeping hati seorang insan
Bernama teman




13 Mei 2009

Bunga Mini sewaktu kecilku duluw


Sampai sekarang aku belum tahu apa nama bunga berkelopak mini ini. Bukan karena tidak indah jika dirangkai bersama indahnya bunga yang lainnya hingga tidak dikenal oleh banyak orang. Tapi ini memang mini. Diameter kelopaknya saja tidak lebih dari seperempat centimeter. Jadi sungguh wajar sekali jika bunga sekecil ini lepas dari pengamatan banyak orang. Mungkin hanya ditemui para tetenggaku yang merumput di pematang-pematang sawah untuk pakan ternak mereka. Itu pun jika mereka memeperhatikanya. Dan entah mengapa aku meliriknya waktu itu. Ya waktu itu. Waktu kecilku.
Bunga inilah yang menemani hari-hari sepiku tanpa teman. Dulu semasa kecilku, aku tidak begitu punya teman sebaya perempuan yang rumahnya cukup dekat hingga aku bisa bermain dengannya sepanjang waktu. Yang ada hanya beberapa teman laki-laki. Pastinya mereka tidak berminat dengan bunga. Aku hanya sendirian bermain di pematang samping rumahku. Dengan bunga-bunga mini ini.


Ya sendiri. Aku sendiri walau aku masih cukup beruntung mempunyai saudara kecil semanis dia. Adikku. Rasanya dulu belum ada ikatan emosional yang terjalin antara aku dan dirinya. Selain dipengaruhi usia kami yang sama-sama tumbuh dalam usia yang kecil bersama, tapi juga kerinduanku atas sosok seorang kakak. Seakan kerinduan itu menghapus sejenak dia dari dalam benakku. Tapi tidak untuk sekarang. Kami telah sama-sama tumbuh bersama. Setidaknya aku ada ketika dia membutuhkanku begitupun sebaliknya. Hanya jarak saja yang memisahkan kami sekarang ini.
Sebenarnnya bukan hanya bunga itu saja. Ada banyak yang lainnya. Bunga kecil berwarna ungu, rumpun-rumpun rumput kecil dengan buah berwarna hijau yang biasanya kusebut anggur, atau ilalang kecil. Ach masih banyak lagi yang lainnya. Dan kemudian bunga-bunga itu kurangkai menjadi buket mini. Setelah itu hanya ku taruh di salah satu sudut rumaku hingga mengering dengan sendirinya. Yang pasti rumpun-rumpun itu akan sulit sekali aku temukan disini. Di Surabaya tembat aku mengenal dunia baru. Bangku kuliah.
Jangan dibayangkan kalau aku bermain dengan bebungaan aku ini gadis yang girlie. Tapi lingkunganku yang kebanyakan hanya berkutat dengan para cowok membuatku punya pengalaman bermain yang beragam. Sampai sekarang aku masih ingat bagaimana aku melewati hari-hari bermain kala itu. Ya walaupun tidak seluruhnya seratus persen. Tapi setidaknya beberapa bagiannya.
Seingatku aku hanya punya satu boneka ketika aku kecil.. Boneka plastik berwarna merah berbentuk gadis kecil yang membawa sebuah keranjang kecil. Tidak ada yang menarik darinya. Kecuali bunyi yang keluar darinya ketika perutnya ditekan. Memang ada semacam terompet kecil diatas kepalanya. Itupun smpat rusak tak mau berbunyi sampai akhirnya dibenahi kakak sepupuku yang dulu telah berkuliah di teknik mesin. Tidak seperti teman-temanku yang bonekanya bejibun banyaknya.
Dulu sepulang sekolah kami pulang lebih akhir sekali hanya karena mencoba memetik mangga di rumah salah satu tetanggaku. Kami yang seharusnya paling tidak sampai rumah sekitar jam 10 pagi terlambat sampai jam 11.30. Itu pun dengan tangan hampa. Dan seingatku akulah satu-satunya perempuan diantara mereka. Ini ketika aku masih duduk kelas satu sekolah dasar.
Disisi lain kebiasaanku yang lainnya juga tak selazimnya gadis kecil dimasa itu. Kebiasaan terlambatku ketika duduk di kelas dua ternyata masih lestari alias berlanjut sampai sekarang (Hee… maaf ya pak Dosen…). Kebetulan memang kelas dua masuk kelas pukul 09.30. Setiap hari Sabtu di sebuah stasiun televise ditayangkan acara masak memasak yang aku gemari. Ya walaupun hingga saat ini belum mahir mengolah bermacam-macam bahan masakan, setidaknya aku sudah rajin nonton acara semacam itu dari kecil. (Huehe…)
Acara itu mulai ditayangkan jam 09.00 dengan durasi waktu 30 menit. Otomatis aku berangkat ke sekolah yach jam segitu. Dan jelaslah sudah plus otomatis aku terlambat. He….. Kebetulan alias beruntungnya pula, Kedua orang tuaku telah berangkat berpeluh keringat membanting tulang di sawah kami. (Ngapunten nggih bapak, ibu… anakmu yang satu ini memang bandel…) Tapi g’ sering kok. Paling Cuma seminggu sekali. Hari sabtu ajach. (Halah ngeles… seminggu sekali yo sering nduk…)
Masih banyak lagi lah pokoke kenakalan-kenakalan di masa kecilku. Mpun dulu nggih… Kapan-kapan disambung lagi. To be continued ke lain waktu yang belum tahu kapan. Oke! See ya…
By the way, bagaimana dengan masa kecilmu? Seindah seperti masa kecilku yang penuh kenakalankah?he…. Bagi-bagi dunk!


Titian Pelangi

Sekali lagi aku katakan. mengirimkan karya tulis belum menjadi suatu hal yang biasa untuk seorang makhluk bernama diriku. Entah mengapa rasa kurang percaya diri, merasa tak layak dan sebagainya selalu menghantuiku. Dan hanya dengan paksaan seorang sahabat lagi aku mencoba mengekspresikan apa yang ada dalam diriku. Walaupun beberapa bait katanya aku mix n match dari beberpa anasyid yang pernah aku dengar, puisi ini rasanya kok gimana gitu. Gimana gitu itu maksudnya kok gak terlalu beres. Tapi gak tahulah ini yang muncul saat itu.
Ini ekspresi kebanggaan sekaligus kebahagiaan tersendiri adanya aku diantara mereka. bagaimna tidak. Belajar bersama mereka yang notabene paling dimasing-masing pesantrennya. Sedangkan aku? Tanda tanya tadi rasanya kurang besar untuk menggambrkan pertanyaan tadi. Apalah ini. G'tahu. He...

TITIAN PELANGI

Disini, kita pernah bertemu
Bersama
Mencari warna seindah pelangi
Meniti tangga warna-warninya
Yang kadang merona, cerah, ceria
Pun pula suram, kelam, duka

Aku ingat kau pernah berkata
Ah, aku lelah kawan
Tangga ini penuh onak dan duri
Debunya pun mengaburkan mataku
Dan segurat kecewa itu ada disana
Di bibirmu

Ingat kawan
Titian pelangi ini titian perjuangan
Titian yang akan menghubungkan harapan kita
Dengan gemilang cahaya
Yang kemilau panca warnanya

Jangan berharap tangga ini sepi rintangan
Itu hanya akan menjadi harapan berkepanjangan
Yang tak akan pernah datang
Bagai rembulan di tengah siang

Dan lantas kemudian
Angin itu mengalir beralun
Membawa sejumput harapan dan selambai ajakan

Hati-hati kawan mendaki setiap titian
Titian itu mudah lapuk, cair dan runtuh
Marilah kita melangkah bersama
Agar lengan ini bisa saling menguatkan
Kala salah satunya melemah dan patah

Doakan pula daku ini
Doakan aku disetiap langkahku
Karena doamu penyejuk kalbu

Dan terhulurlah tangan lembut itu
Dengan sebaris senyum mesra
Kembali meniti langkah bersama
Mendaki titian pelangi
Hingga kelak nanti di sana

al Fagheeya ‘09


Antara Aku, Ibu dan Bunga


Bunga mewakili segalanya. Begitulah yang aku baca di buku keajaiban bunga ini. Buku yang awalnya aku temukan di geogle search ini kemudian bisa ku beli beberapa waktu setelahnya. Memang ini buku cetakan 2 tahun yang lalu, tapi menurutku buku cetakan kapanpun pasti berasa baru ketika kita membacanya pertama kali. Buat teman-teman yang penasarn, bisa langsung contact person langsung ke kamarku untuk membacanya. Harus dikembalikan lagi tentunya.
Bunga memang tak selamanya melambangkan keindahan dan cinta saja. Bunga juga melambangkan persahabatan, amarah bahkan mistik bin magic. Bunga juga mewakili banyak ekspresi. Mulai dari cinta, duka cita, maaf, terima kasih, dan masih banyak lagi yang pastinya beragam sesuai dengan sudut pandang masing-masing orang. Begitupun dengan diriku.


Sama halnya dengan perempuan lainnya, aku yang walaupun kadang masih meragukan keperempuananku ini (lho… ???) juga pencinta bunga. Mulai bunga asli, artifisial sampai bunga maya alias image-image dilaptop temen-temenku itu tak luput dari pengamatanku. Apa lagi bunga yang bersegi lima. Entah mengapa ada daya tarik sendiri buatku. Jangan tanya apa alasannya. Karena sampai sekarangpun aku juga belum menemukannya. Dalam kehidupan sehari-hari ku pun tak luput dengan bunga. Tentunya dengan berbagai kisah yang melatar belakanginya. Entah mengapa setelah membaca buku keajaiban bunga ini untuk yang ketiga kalinya setelah pulang dari kajian malam ini aku ingin sekali bercerita tentang bunga.
Ini tentang ibuku yang beberapa bulan terakhir ini suka menanam bunga. Awalnya aku tak sadar akan hobi baru beliau itu. Sampai pada akhirnya teras depan rumahku mulai penuh dengan pot-pot kecil dengan beragam bunga. Mulai kamboja, teratai air, sampai achorbya yang beliau dapatkan dari beberapa tetangga dan family kami. Pot-pot ibu pun bukanlah pot-pot indah penuh ukiran warna-warni itu. Beberapanya hanya dari panci bolong, kaleng biscuit, ada juga dari mangkok plastic, bahkan plastic bekas minyak goreng kiloan yang beliau bentuk sedemikian rupa.
Aku tak menyangka ibu lakukan semua untuk aku. Ya walaupun sedemikaian sederhana tapi itu semua sudah mewakili ekspresi cinta kasih beliau kepadaku. Hal itu sama sekali tidak aku ketahui dan aku pahami sampai pada suatu hari aku bertanya, “Ibu sekarang kok suka menanam bunga?”. Dan betapa terharunya aku ketika beliau berkata, “Lho, bukannya kamu yang dulu minta, kamu bilang depan rumah gersang gak ada bunga-bunganya gitu”. Bagaimana aku tidak terharu. Seingatku saat itu hanya menyampaikan pendapat yang ingin aku sampaikan pada beliau saja. Tidak lebih. Tapi ternyata beliau menangkapnya sebagai sebuah permintaan. Ach, memang demikianlah beliau. Beliau memahami aku sebagaimana memahami diri beliau sendiri. Jadi kangen…. Tapi besok aku masih ada kuliah Pertanahan dan Peradilan Islam di semester IV S 1 ku ini. Moga cepet selesai yach… Amiin… Biar cepet pake toga kaya gini nich… He….
Memalukannya lagi aku sebagai anak perempuannya ini malah tak ada inisiatif apa gitu untuk mewarnai halaman depan itu. Malah beliau ditengah lelahnya dengan kesibukan mengurus rumah dan membantu bapak di sawah saja masih sempat merawat itu semua. Sampai-sampai beliau berkata, “Perempuan macam apa kamu ini, menanam bunga saja tidak bisa, ya sudah kalau main kerumah teman yang punya banyak bunga, mintalah untuk kamu tanam di halaman depan itu”. Ya demikianlah aku. Oleh karenanya tak salah bila aku masih meragukan keperempuananku ini. Bukan hanya dengan alasan bunga ini saja, Tapi dengan banyak alasan lain yang berkaitan pekerjaan rumah tangga yang jujur aku memang kurang bisa diandalkan.
Sampai satu hari aku pulang dengan beberapa tangkai stek bunga dari rumah seorang sahabat. Aku memang sempat bercerita padanya kalau aku dipesani ibuku bunga apa saja kalau aku main kerumah temanku. Tapi lagi-lagi aku melupakan pesanan itu. Sampai justru sahabatku itulah yang mengingatkan aku. Betapa parahnya aku ini. Bahkan sahabatku lebh perhatian kepada ibuku dibandingkan aku. Bahkan aku tak menyangka sebegitu bahagianya ibuku saat aku benar-benar membawakan pesanannya itu. Begitu berbinar-binar dengan perhatian kecilku. Bukan perhatianku malah, perhatian sahabatku. (Thanks for all of things lis…) Tak ada seperseratus ujung kotoran jari sekalipun jika dibanding semua perhatian beliau kepadaku hingga usiaku yang ke-20 ini.
Kalau sudah begini aku sudah tak bisa apa-apa lagi kecuali mendoakan beliau. Jarak yang terbentang antara Surabaya-Ponorogo seakan semakin jauh saja jika sudah kangen pelukan dan candaan beliau seperti sekarang ini. Tapi aku yakin di seberang sana, jam sekian ibu telah beristirahat dikamar setelah penat seharian berkutat dengan pekerjaan rumah. Selamat istirahat ibu. Salam kangen dari anakmu yang tak mengerti betapa engkau mencintainya dengan segenap kasihmu.


11 Mei 2009

Tips Membaca Efeektif dan Efisien

Mengirimkan karya untuk dimuat dimedia belum menjadi hal yang biasa untukku. Tapi tidak ada salahnya mencoba meskipun hanya di Buletin kelas. Ahwaluna. Itupun atas desakan salah seorang sahabat. Ini dah hasil utik-utik beberapa artikel yang di merge jadi satu. Ini teks yang sudah dipoles dengan sentuhan-sentuhan khusus sama editornya, jadi bukan murni dari aku lagi. Moga bermanfaat ya...
Anyone who stops learning is old, whether at twenty or eighty. Anyone who keeps learning stays young. The greatest thing in life is to keep your mind young. (Henry Ford)
Sering membaca buku tapi kesulitan untuk memahami atau menangkap ide yang disampaikan dengan cepat? Jangan resah kawan! pean tidak sendiri! Saya pun juga mengalami hal yang sama. Apa lagi ketika kita harus membaca lebih dari lima buah buku dalam satu hari sebagai referensi bahan mengerjakan tugas. Rasanya, buku-buku tersebut semakin tebal saja dan membosankan.
Lantas, apakah kita harus meninggalkan buku-buku tersebut? Tidak kan? Ni, Ahwaluna punya tips tersendiri mengenai membaca efektif dan efisien.


1. Tentukan tujuan membaca
Sebelum membaca tentukan dulu informasi terpenting apa yang ingin kita ketahui dari buku itu. Pelajari sekilas sistematika penulisannya, mulai daftar isi, indeks atau apa saja yang menggambarkan isi buku.
2. Temukan kata kunci
Langsung saja menuju ke halaman di mana kata kunci itu kita temukan. Dengan hanya membaca kata-kata kunci, kita akan memangkas jumlah kata yang perlu dibaca setidaknya 70%. Dan karenanya meningkatkan kecepatan baca tiga atau empat kali lipat.
3. Ubah kebiasaan kita menggerakkan bibir, menunjuk tulisan, dan vokalisasi bacaan.
Kebiasaan vokalisasi bacaan tanpa kita sadari mengurangi tingkat keefisienan dan keefektifan cara membaca kita. Karena kadang rasanya kita lebih paham jika tidak hanya melihat saja, tetapi juga mendengarkan. Padahal mata menerima informasi jauh lebih cepat daripada telinga. Kita hanya dapat “mendengar” perkataan sekitar 250 kata permenit, tetapi kita dapat melihat kata dengan kecepatan 2.000 kata per menit atau lebih. Begitu pula dengan menggerakkan bibir. Dalam satu menit tidak banyak kata yang dapat kita lafadzkan. Jika kita masih terikat dengn gerakan bibit tersebut, hal itu akan membuang waktu kita untuk membaca halaman selanjutnya atau bahkan buku yang lainnya.
4. Berlatih membaca cepat.
Maksudnya agar kecepatan membaca kita terus meningkat. Karena segala sesuatu membutuhkan proses serta tahapan-tahapan yang berkesinambungan.
5. Temukan ide pokok pada buku yang kita baca.
Dengan demikian kita dapat memahaminya sekaligus. Ada baiknya pula jika kita membaca lebih kritis, jika perlu siapkan catatan kecil untuk bagian bacaan yang perlu di ingat. Agar kita tidak perlu mencari ulang suatu saat nanti. Hal ini akan membuat aktivitas membaca kita lebih efisien.
6. Konsentrasi dalam membaca.
Kebanyakan kita menganggap bahwa konsentrasi adalah pekerjaan berat dan sangat sulit dilakukan. Padahal kalau kita menyenangi sesuatu, katakanlah menonton konser musik band favorit atau film di bioskop, maka kita dapat berkonsentrasi menikmati pertunjukan yang berlangsung lebih dari dua jam. Jadi, konsentrasi bisa dibangun ketika sesuatu itu menyenangkan. Bukankah membaca juga demikian?
7. Menggunakan setiap waktu luang untuk membaca.
Dalam hal ini, tidak harus jenis bacaan berat seperti textbook kuliah, paper dosen atau bacaan berat lainnya yang membutuhkan konsentrasi yang tinggi untuk membacanya. Buku-buku ringan semacam cerpen, cerita humor, hikmah dibutuhkan sebagai sarana pelatihan. Ingat lho? Kontinuitas dibutuhkan untuk membentuk sebuah kebiasaan.
Ok dech… itu dulu tips Ahwaluna edisi kali ini. Ingat lho? Itu hanya sekedar tips. Kalau kamu memang dah nyaman dengan kebiasaan membacamu sekarang, dan kamu anggap itu efisien dan efektif, ya teruskan aja. Tidak salah kok! Yang salah ya yang tidak membaca. Setuju?
al Fagheeya ‘09

02 Mei 2009

Last Breath

Setelah sebulan vakum g'posting apa-apa, q ngin berbagi lirik asyik ni... Lirik lagu ini aku dengar suatu hari ketika membuka file berbentuk macromedia flash player di laptop mungilnya. Entah mengapa pertama kali mendengarnya ada sesuatu yang beda. Lagu ini tu liriknya english, tapi cengkoknya arabic banget. Yang nyanyiin Ahmed Bukhatir yang juga nyanyiin lagu zawjaty ma ummy. Liriknya ku dapet susah payah lho... Harus ndengerin lagunya berkali-kali sambil nulis liriknya. habis nyari di lirik nasyid ga'ketemu sich... Pa lagi english tu susah banget buat ditiruin... Walah opo nech iku... yang penting ni lah liriknya...

From those around I hear a cry
A mouthful sob a hopeless sight
I hear their foot steps leaving slow
And than I know my soul must fly!

A chilly wind begins to flow
Within my soul from head to toe
And then last breath escapes my lips
It’s time to leave and I must go

So it’s true but it’s too late
They said: Each soul has its given death
When it must leave its body’s core
And meet with its eternal fate

Oh mark the word that I do say
Who knows tomorrow could be your day?
At last it’s come to heaven or hell
Decide which now do not delay
Come on my brother let us pray
Decide which now do not delay

Oh God oh God I can not see
My eyes are blind, am I still me?
Oh has my soul been led astray
And forced to pay a priceless fee

Alas to dust we all return
Some shall rejoice while other burn
If only I know that before
The line grew short and came my turn

And now as beneath the sod
They lay me with my record flawed
They cry not knowing I cry worse
For they go home I face my god

Dari kerumunan itu aku mendengar tangisan
Mereka meratapi dengan desahan hampa
Aku mendengar langkah kaki mereka meninggalkanku perlahan
Lalu aku tahu bahwa saatnya jiwaku pergi

Angin dingin mulai bertiup
Didalam jiwaku dari kepala sampai ujung kaki
Lalu. nafas terakhir meninggalkan bibirku
Ini saatnya untuk pergi dan aku harus pergi

Ternyata benar tapi sudah terlambat
Mereka berkata : Setiap yang bernyawa pasti mengalami kematian
Ketika ruh meninggalkan jasadnya
Dan menghadapi takdirnya

Oh, ingatlah kata-kata yang aku ucapkan
Siapa tahu mungkin besok adalah giliranmu?
Pada akhirnya kita akan masuk ke surga ataukah ke neraka?
Tentukan pilihanmu sekarang jangan menunda
Ayolah saudaraku berdo’alah
Tentukan pilihanmu sekarang jangan menunda-nunda

Ya Allah aku tidak bisa melihat!!!
Mataku buta!!! Masihkah aku adalah diriiku???
Atau jiwaku telah tersesat???
Dan harus menanggung hukuman yang tak terperikan beratnya???

Kita semua akan menjadi debu
Sebagian orang kembali dengan bahagia dan sebagian yang lainnya
seandainya aku tahu dari sebelumnya
Tapi waktu telah habis dan tibalah waktuku

Dan sekarang di dalam tanah
Mereka membaringkanku dengan catatan dosa-dosaku
Mereka menangis tanpa tahu bahwa aku menangis lebih perih
Saat mereka pulang aku menghadap Tuhanku