20 Mei 2009

ROMANTISME SENJA SORE ITU

Mendung sore itu memang tidak bersahabat. Entah kapan datangnya tiba-tiba saja awan gelap meliputi langit kota kecilku ini. Padahal seingatku ketika mulai masuk ke kost Fadhilah, kemudian berbincang-bincang dengannya, tidak memakan waktu yang cukup lama. Apa hanya perasaanku saja yang mengatakan demikian? Karena memang kami telah cukup lama tidak bertemu. Hingga pertemuan yang sebenarnya cukup melelahkan hanya untuk ngobrol itu terasa demikian singkat.
Aku dan Tami singgah dikost Dhila setelah seharian berkeliling seantero kota Ponorogo. Ku perlihatkan kota kecilku yang sering kuceritakan padanya itu. Mulai bermain kerumah salah seorang teman di selatan kota, shalat Dhuhur di masjid agung kota Ponorogo, dan rencananya bermain ditaman kota dekat alun-alun sore nanti setelah ashar.
Bermain ke sana tidak lengkap jika tidak mampir ke Graha Krida Praja. Mencoba menapaki lantai 8 bangunan tertinggi di kotaku itu. Sekalian bercengkerama bersama singa-singa yang kokoh di depan pendopo. Patung-patung singa tepatnya. Menelusuri sejarah Jawa kuno yang penuh mistik dengan balutan cerita cinta Dewi Songgolangit putri Kediri yang patungnya anggun ditengah air mancur taman. Putri yang keelokannya membawa Klono Sewandono mempersembahkan kesenian Reog untuk meminang sang putri diantara para pelamar lain yang tidak sedikit jumlahnya.
Cuaca memang kurang pas saat jam-jam sekian. Panas yang masih menyengat bisa mengucurkan bulir-bulir keringat sebesar jagung. Akhirnya kami putuskan mampir untuk silaturahmi sekalian shalat Ashar di kos salah satu temanku. Atas usulku tentunya. Ku belokkan kearah kiri kuda besi yang sebenarnya telah tepat berada di depan pendopo alun-alun.
“Nanti sajalah Tam kesininya, masih panas banget gini…”
“Yoi, ku ngikut sajalah, kan kamu yang lebih tahu sudut-sudut kotamu”.
Saking asyiknya ngobrol ngalor ngidul aku tak menyadari kalau mendung itu sudah mulai bergelayut di atas sana. Sampai sebuah sms masuk kelayar hp di salah satu kantong tasku.
“Nduk, sampun sonten kok dereng mantuk, tasik wonten pundi?”
Sender: Aby asy Syafiq +6285259644xxx
Sent: 29 Jan 2009 16:15:26
Langsung saja kujawab kalau aku masih bertamu di kost Dhila dan akan segera pulang ke rumah. Beliau sudah faham siapa Dhila, karena dia sudah beberapa kali berkunjung ke rumahku. Aku lupa waktu. Kalau sudah begini orang rumah pasti khawatir sekali. Apalagi dengan keadaanku sekarang yang tidak sendiri. Maksudnya aku mengajak seorang teman, Tami, yang sedang singgah di rumah kecilku di awal liburan semester III ini. Pastinya mereka tidak hanya menghawatirkanku saja, tapi juga tamu yang aku bawa tentunya.
Di tengah perbincangan aku keluar. Sampai Dhila dan Tami heran.
“Ada apa Fid, masih enak-enak ngobrol kok ngeloyor gak pake pamit?”, tanya Tami sambil mengikuti langkahku yang mulai beranjak dari tempat duduk.
”Mendung nich, kok ndak ada yang kasih tahu sich… Kalau nanti kehujanan gimana dunk! Mana belum shalat ashar lagi…” Gerutuku pada mereka sambil menunjuk ke arah langit yang mulai di penuhu awan gelap disana-sini.
“Sapa juga sich fid yang tahu, dari tadi lho kita di dalam semua, yaw dach shalat dulu aja kalo gitu”, saran Dhila sambil mengangsurkan sandal jepit khusus kamar mandinya.
Langit memang sudah di penuhi awan gelap. Seakan hujan tinggal turun sewaktu-waktu bahkan dalam hitungan detik. Kamar kost ukuran 2x3 itu jika ditutup pintunya memang tidak begitu jelas jika ingin melihat keluar. Apalagi dengan kaca jendelanya yang tidak begitu terang ditambah gordennya ditutup. Lebih-lebih rerimbunan pohon mangga yang menjulang didepan kamar kost Dhila itu pastinya juga menghalangi pandangan kami. Segera kami shalat dan bersiap pulang. Yang pastinya dengan segala kemungkinan kehujanan dijalan.
Sebenarnya Dhila sudah menyarankan untuk menginap saja di kostnya. Karena dia di sana pun tinggal sendiri. Beberapa kamar kost di sampingnya masih terlihat kosong tak berpenghuni. Kos-kosan itu memang tidak dibuka untuk umum. Dia bisa menempati tempat itupun karena masih ada hubungan keluarga. Tapi dengan segala pertimbangan aku putuskan pulang. Bukan hanya karena tidak enak saja dengan tamuku yang satu ini yang pastinya masih asing dengan Dhila yang baru dia kenal, terlebih juga mempertimbangkan kekhawatiran kedua orang tuaku dengan serentetan smsnya. Memang susah jadi anak perempuan satu-satunya.
Segera ku geser motor hasil jerih payah bapakku itu dari pelataran kost Dhila. Kuangsurkan helm kepada Tami yang juga sudah siap berangkat meneruskan perjalanan kami seharian itu.
“Dik, mendung banget ni, beneran gak mau nginep sini aja?” Dhila memang terbiasa memanggilku dik. Selain karena usianya terpaut 1 tahun lebih sedikit denganku, juga karena aku memanggilnya mbak. Calon mbak buat mas sepupuku.
“Gak ah mbak, lain waktu saja. Kalau gak cepet pulang bisa-bisa dismsin trus ni ma bapak. G’pa-pa yach!” Aku sudah siap diatas motor lengkap dengan helm. Ku benarkan lagi letak jas hujanku digantungan depan dibawah kunci.
“Hati-hati dik, kalau dah sampe rumah sms ya… salam buat Bapak Ibu”. Dan seulas senyum manis itu tersungging dibibirnya. Memang itu mungkin alasan mas sepupuku memilih dia. Bukan hanya manis senyumnya, tapi juga manis hatinya. Dan lambaian tangannya pun tak luput mengantarkan kami yang semakin lama semakin menghilang setelah kami membelok ke arah kiri disebuah perempatan kecil.
Dan motor yang setia menemaniku itu pun mulai melaju di bawah naungan awan hitam menembus jalan-jalan protokol kota Ponorogo. Kulirik Tami yang terlihat resah ku bonceng di belakangku. Pasti dia juga khawatir jarum-jarum air itu turun sewaktu-waktu. Namun sesekali sepertinya dia juga mencoba menikmati keelokan kotaku disore hari itu.
‘Rek, ga’ pa-pa ya kalau kehujanan?” kataku di tengah deru motor yang masih mencoba melaju di tengah jalanan berdebu sore itu.
“Ga’ pa-pa Fid, santai ae wis…. Ya kalau nanti hujan ya berteduh di pinggir jalan”. Belum sempat kata-kata itu selesai di ucapkannya, ternyata rintik-rintik kecil itu sudah mulai berjatuhan satu-satu.
Awalnya aku masih menikmatinya. Aku belum berhenti untuk berteduh ataupun hanya sekedar berhenti barang sebentar untuk memakai jas hujan di gantungan itu. Aku menikmatinya seakan ada romantisme tersendiri kalau sedang gerimis seperti ini. Ada susana syahdu penuh haru biru di relung kalbu. Ya, karena ada kenangan diperjalanan ditengah gerimis kecil semacam ini. Tapi lama kelamaan semakin lebat saja titik-titik airnya. Hingga kerudung biru berbunga kesayanganku ini mulai basah disana-sini dan wajahku terasa perih tertusuk tajamnya jarum-jarum air itu..
Segera kubelokkan motorku tepat di parkiran depan sebuah hotel dipinggiran kotaku. Ya walaupun kecil, ada lah hotel di kotaku ini. Aku memilih tempat itu karena memang kebetulan hujan mulai deras disana, pun juga tempat parkirnya cukup luas dan leluasa untuk berteduh. Selain itu bukan hanya aku saja yang berteduh di sana. Masih ada seorang bapak penarik becak dan seorang pemuda pengendara sepeda motor yang juga sedang menanti curahan air dari langit itu mulai reda.
Segera ku lepas helm yang tadi sudah kupakai sejak dari kos Dhila. Ku lihat Tami pun melakukan hal yang tidak jauh berbeda. Dan dengan sedikit mengibas-ngibaskan jilbab biruku aku mencoba menahan laju basah terpaan hujan tadi. Jadi gak nyaman gimana gitu rasanya kalau sudah basah-basahan begini.
“Yo po rek hujan gini…, ”
“Ya dah, mau gimana lagi. Nunggu redanya sekalian aja. Kayaknya hujannya bakalan cukup lama ni”. Kata Tami yang mulai mencari tempat duduk yang cukup nyaman untuk berteduh di tengah derasnya hujan. Masih ku lihat lalu lalang kendaraan yang nekat menerobos derasnya hujan. Aku lebih memilih berteduh saja. Karena kadang tetesannya itu terasa tajam dan menusuk kalau sedang deras-derasnya. Apalagi jika di tambah mengendara dengan kecepatan agak tinggi, pandangan yang mulai kabur membuat nyaliku ciut untuk bisa sampai dengan selamat sampai rumah.
Sambil menanti hujan reda kami berbincang mengenai perjalanan liburan kami beberapa hari ini. Mulai mengulang kisah dia pertama kali sampai di terminal kotaku disambut dengan hujan yang deras pula, sampai rencana esok hari akan pergi kemana lagi. Aku jadi kasihan sama Tami, sejak awal datang kok disambut hujan terus. Tapi ya mau bagaimana lagi, memang sedang musimnya. Tapi yang menyedihkan semacam ini biasanya lebih menggoreskan kesan yang berbeda. Perbincangan itu masih mengalir seperti genangan-genangan kecil dipinggir jalan itu hingga seorang bapak penarik becak yang juga berteduh tadi menyapa kami.
“Saking pundi mbak, daleme pundi lho?”
Kami pun memutuskan perbincangan kami, kemudian mulai dengan perbincangan baru dengan beliau. Beliau menanyakan kami datang dari mana, dimana alamat kami hingga sampai pelataran parkir hotel kecil itu sore-sore seperti ini. Sempat kulihat beliau membersihkan lumpur-lumpur dan beberapa dedaunan kering yang menempel di tangannya. Kulihat tadi beliau membenarkan selokan kecil diujung pelataran parkir yang tergenang tidak bisa mengalir karena ranting-ranting kecil. Masih ada orang peduli walaupun atas barang yang bukan miliknya ditengah kehidupan yang semakin hari semakin keras ini.
Awalnya perbincangan kami hanya mengalir biasa berkutat tentang kegiatan sehari-hari. Mulai kuliah dimana, sudah berapa lama kuliahnya dan perbincangan biasa diantara orang yang baru pertama kali bertemu. Sampai pada saat sms dari bapak masuk menanyakan kembali dimana posisiku sekarang. Segera kusampaikan pada beliau kalau aku masih berteduh di tengah hujan lebat di depan hotel Ramayana. Karena aku tidak ingin beliau khawatir sesore ini aku belum sampai rumah. Sepertinya beliau mengamati aktifitasku membaca sms itu dan membalasnya. Tiba-tiba perbincangan itu lebih terasa berbeda bagiku.
“Sudah lama ya mbak pegang hp?” Tanya beliau tiba-tiba. Kujawab saja kalau kira-kira satu setengah tahun ini. Memang aku baru bisa membawa benda bertuts ini setelah aku keluar dari pesantren dan meneruskan kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Islam Negeri di Surabaya. Dan cerita beliaupun mengalir begitu saja.
“Dulu sebelum ada hp, saya masih banyak pelanggan mbak. Mangkal dipinggiran jalan masih ada yang membutuhkan becak ini”, kata beliau sambil mengelus kecil becak itu. Kulihat memang sudah agak tua. Sepertinya memang sudah sekian lama menjadi sumber penghidupan beliau. Tapi sepertinya tidak rapuh dan masih kukuh sebagaimana pemiliknya yang sekarang berdiri di sampingku. Dan hujanpun sepertinya masih enggan beranjak dari sini. Begitupun awan gelapnya.
“Maksud bapak pripun? Sekarang masih demikian kan pak? Sabut kelapa ini memangnya minta diantar kemana Bapak?” Sahut Tami prihatin, mencoba ikut merasakan kegundahan yang beliau coba bagikan kepada kami.
“Ini dari pasar mbak, buat ibunya anak-anak. Ya buat masak, kayu mahal, apalagi minyak tanah dan gas”. Ach ada rasa yang tiba-tiba menyelusup di relung kecil hatiku ini.
“Sekarang setelah banyak yang punya hp, orang-orang bisa saja menghubungi orang-orang dirumahnya. Minta dijemput dimana tinggal sms atau telpon. Lha terus gimana dengan kami-kami kaya gini”. Kata beliau dengan seulas senyum. Senyum getir.
“Lha terus sekarang dimana pak mangkalnya. Masih dipinggir jalan seperti dulu?”. Perbincangan itu kian terasa hangat di tengah angin dingin hujan deras sore itu. Alhamdulillah tidak diwarnai petir-petir yang menggelegar.
“Ya Alhamdulillah mbak, walaupun tidak sebanyak dulu setidaknya sudah cukup lah buat saya sekeluarga. Kalau tidak ada langganan mengantarkan anak-anak sekolah ataupun taman kanak-kanak dari perumahan Griya Asa saya tidak tahu dimana lagi saya bisa memutar pendapatan yang sekian ini”.
Memang suatu hal yang biasa di kotaku ketika anak-anak usia sekolah itu diantar jemput dengan jasa beliau-beliau ini. Selain para orang tua yang tinggal di kota dengan segala kesibukannya ini bisa mempercayakan keamanan mereka kepada orang tertentu, tapi juga biayanya yang sepertinya memang lebih murah daripada mereka harus mengikutkan anak-anaknya dengan mobil jemputan sekolah. Lain halnya jika mereka di lepas untuk pulang pergi sekolah sendiri dengan kendaraan umum misalnya. Pasti akan lebih banyak faktor lain yang akan muncul selain kurang aman dan biaya. Tapi juga mereka akan semakin tidak terkontrol tanpa pengawasan orang yang lebih tua.
“Langganannya kelas berapa saja Bapak?”. Tanyaku sambil masih terus berharap hujan ini semakin reda. Bukan karena aku tidak suka berbincang dengan beliau, tapi sore yang semakin mendekati malam ini pastinya akan segera menjelang seperti beberapa lampu jalan yang mulai bersinar redup di keremangan jalan. Sambil sesekali melirik jam tangan hitam yang melingkar di lengan kiriku. Hanya memastikan dan mengira-ngira waktu aku kembali nanti sudah adzan maghrib belum ketika sampai rumah.
“Yang satu masih taman kanak-kanak, ada juga yang kelas 1 SD, dan yang satunya lagi kelas III. Jadi nanti yang SD diantar lebih dulu sekitar jam 7 kurang, yang TK agak siangan sedikit sekitar 07.30. Pulangnya ganti yang TK terlebih dahulu baru yang SD”. Beliau diam sesaat sembari mengamati keadaan sekitar.
“Mbak, sepertinya hujannya sudah tidak terlalu deras, lagipula sudah sore, apa tidak sebaiknya mbak segera pulang saja”. Kata beliau setelah mengamati hujan yang memang sudah mulai berkurang derasnya ini. Ku hulurkan tanganku mencoba merasakan seberapa tajam jarum-jarum air itu menghujam tanganku.
“Oh, Inggih Bapak, matur suwun, kalau begitu kami duluan nggih, sudah ditunggu Bapak Ibu di rumah. Mudah-mudahan rezekinya tambah lancar bapak”. Harapku tulus. Kami pun mulai bersiap dengan segala perlengkapan. Mulai mencari kunci yang tadi saya selipkan disaku, memakai helm dan jas hujan. Ya walau pada kenyataannya kami sudah basah, tapi tak ada salahnya memakainya. Karena bukan tidak mungkin jika didepan sana nanti hujan masih turun deras seperti tadi.
“Amiin… Hati-hati mbak, tidak perlu terburu-buru, jalanan masih licin”. Kata beliau sambil ikut bersiap-siap juga untuk beranjak dari pelataran parker itu.
“Inggih Bapak, monggo… Assalamu’alikum”, kusunggingkan senyum sambil berpamitan kepada beliau. Dan salam itu kudengar sebelum aku memasukkan gigi motorku setelah kupanaskan sebentar setelah kehujanan tadi. Dan aku pun mulai melaju dengan Tami di senja menjelang malam di bawah naungan temaram lampu jalan dan rintik-rintik kecil hujan sore ini.
Entah mengapa perbincangan tadi masih terekam dibenakku. Sampai-sampai aku masih berdialog dengan hatiku sendiri sambil tetap menjaga keseimbangan laju motorku. Seakan aku menemukan romantisme baru di senja sore ini. Bukan romantisme cinta yang katanya indah itu. Tapi romantisme kehidupan yang mempunyai liku-liku tersendiri bagi setiap yang menjalaninya. Dan memang hanya lewat belajar dan pengalaman kita bisa memahaminya.
Dulu aku sempat sedikit berbincang dengan teman-teman dipesantren, apa saja sich madharat hp disamping manfaatnya bagi kehidupan kita ini? Karena kadang kami masih berontak dengan adanya larangan membawa hp di pesantren kala itu. Sebagian dari kami hanya memahaminya bahwa itu akan hanya akan membawa dampak negatif bagi moral mereka, individu-individu yang tidak bisa memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Apalagi fitur-fiturnya yang semakin hari semakin canggih itu semakin memudahkan manusia mengekspresikan keinginan-keinginannya.
Tak pernah terpikirkan oleh kami bahwa semua itu akan membawa dampak sosial juga sebagaimana yang dialami bapak tadi. Tidak hanya bapak itu saja pastinya. Bahkan mereka-mereka yang selama ini berjasa seperti tukang ojek, sopir angkot, bus kota dan sebagainya yang juga kehilangan pelanggan dengan adanya kecanggihan teknologi ini. Dan tentunya masih banyak lagi yang lainnya yang mungkin sampai saat ini belum ku pahami sepenuhnya.
Akhirnya disepanjang jalan sore itupun aku dan Tami juga membicarakan pengalaman yang baru saja kami dapatkan. Setidaknya aku tidak berdialog dengan hatiku sendiri lagi seperti tadi. Yang pastinya pembicaraan sambil mengendarai motor yang tengah melaju di perjalanan pulang kami setelah seharian berkeliling kota Ponorogo.
Hingga akhirnya kami sampai di batas desa tempat dimana diriku dilahirkan. Dan dengan basah kuyup dengan rasa dingin yang masih terasa, kami hanya terlongo takjub. Bagaimana tidak!!! Hujan yang mengguyur sederas itu ternyata tidak menetes sedikitpun dijalan-jalan desaku yang masih tetap kering dan berdebu.
Dan gumaman Subhanalloh itu masih kami decakkan hingga sampai depan rumah diiringi tatapan khawatir kedua orang tuaku serta adik manisku yang sedang berlibur juga dari pesantren yang sealmamater denganku. Dan adzan Maghrib di surau ujung gang itu mulai berkumandang seiring dengan berhentinya deru mesin motorku ini. And the last… Senja sore itu semakin terasa romantis lagi ketika kami sekeluarga plus Tami berjalan beriringan menuju surau melewati jalan yang masih saja berdebu tanpa siraman hujan ini.
al Fagheeya Mei 2009



Tidak ada komentar:

Posting Komentar