13 Mei 2009

Antara Aku, Ibu dan Bunga


Bunga mewakili segalanya. Begitulah yang aku baca di buku keajaiban bunga ini. Buku yang awalnya aku temukan di geogle search ini kemudian bisa ku beli beberapa waktu setelahnya. Memang ini buku cetakan 2 tahun yang lalu, tapi menurutku buku cetakan kapanpun pasti berasa baru ketika kita membacanya pertama kali. Buat teman-teman yang penasarn, bisa langsung contact person langsung ke kamarku untuk membacanya. Harus dikembalikan lagi tentunya.
Bunga memang tak selamanya melambangkan keindahan dan cinta saja. Bunga juga melambangkan persahabatan, amarah bahkan mistik bin magic. Bunga juga mewakili banyak ekspresi. Mulai dari cinta, duka cita, maaf, terima kasih, dan masih banyak lagi yang pastinya beragam sesuai dengan sudut pandang masing-masing orang. Begitupun dengan diriku.


Sama halnya dengan perempuan lainnya, aku yang walaupun kadang masih meragukan keperempuananku ini (lho… ???) juga pencinta bunga. Mulai bunga asli, artifisial sampai bunga maya alias image-image dilaptop temen-temenku itu tak luput dari pengamatanku. Apa lagi bunga yang bersegi lima. Entah mengapa ada daya tarik sendiri buatku. Jangan tanya apa alasannya. Karena sampai sekarangpun aku juga belum menemukannya. Dalam kehidupan sehari-hari ku pun tak luput dengan bunga. Tentunya dengan berbagai kisah yang melatar belakanginya. Entah mengapa setelah membaca buku keajaiban bunga ini untuk yang ketiga kalinya setelah pulang dari kajian malam ini aku ingin sekali bercerita tentang bunga.
Ini tentang ibuku yang beberapa bulan terakhir ini suka menanam bunga. Awalnya aku tak sadar akan hobi baru beliau itu. Sampai pada akhirnya teras depan rumahku mulai penuh dengan pot-pot kecil dengan beragam bunga. Mulai kamboja, teratai air, sampai achorbya yang beliau dapatkan dari beberapa tetangga dan family kami. Pot-pot ibu pun bukanlah pot-pot indah penuh ukiran warna-warni itu. Beberapanya hanya dari panci bolong, kaleng biscuit, ada juga dari mangkok plastic, bahkan plastic bekas minyak goreng kiloan yang beliau bentuk sedemikian rupa.
Aku tak menyangka ibu lakukan semua untuk aku. Ya walaupun sedemikaian sederhana tapi itu semua sudah mewakili ekspresi cinta kasih beliau kepadaku. Hal itu sama sekali tidak aku ketahui dan aku pahami sampai pada suatu hari aku bertanya, “Ibu sekarang kok suka menanam bunga?”. Dan betapa terharunya aku ketika beliau berkata, “Lho, bukannya kamu yang dulu minta, kamu bilang depan rumah gersang gak ada bunga-bunganya gitu”. Bagaimana aku tidak terharu. Seingatku saat itu hanya menyampaikan pendapat yang ingin aku sampaikan pada beliau saja. Tidak lebih. Tapi ternyata beliau menangkapnya sebagai sebuah permintaan. Ach, memang demikianlah beliau. Beliau memahami aku sebagaimana memahami diri beliau sendiri. Jadi kangen…. Tapi besok aku masih ada kuliah Pertanahan dan Peradilan Islam di semester IV S 1 ku ini. Moga cepet selesai yach… Amiin… Biar cepet pake toga kaya gini nich… He….
Memalukannya lagi aku sebagai anak perempuannya ini malah tak ada inisiatif apa gitu untuk mewarnai halaman depan itu. Malah beliau ditengah lelahnya dengan kesibukan mengurus rumah dan membantu bapak di sawah saja masih sempat merawat itu semua. Sampai-sampai beliau berkata, “Perempuan macam apa kamu ini, menanam bunga saja tidak bisa, ya sudah kalau main kerumah teman yang punya banyak bunga, mintalah untuk kamu tanam di halaman depan itu”. Ya demikianlah aku. Oleh karenanya tak salah bila aku masih meragukan keperempuananku ini. Bukan hanya dengan alasan bunga ini saja, Tapi dengan banyak alasan lain yang berkaitan pekerjaan rumah tangga yang jujur aku memang kurang bisa diandalkan.
Sampai satu hari aku pulang dengan beberapa tangkai stek bunga dari rumah seorang sahabat. Aku memang sempat bercerita padanya kalau aku dipesani ibuku bunga apa saja kalau aku main kerumah temanku. Tapi lagi-lagi aku melupakan pesanan itu. Sampai justru sahabatku itulah yang mengingatkan aku. Betapa parahnya aku ini. Bahkan sahabatku lebh perhatian kepada ibuku dibandingkan aku. Bahkan aku tak menyangka sebegitu bahagianya ibuku saat aku benar-benar membawakan pesanannya itu. Begitu berbinar-binar dengan perhatian kecilku. Bukan perhatianku malah, perhatian sahabatku. (Thanks for all of things lis…) Tak ada seperseratus ujung kotoran jari sekalipun jika dibanding semua perhatian beliau kepadaku hingga usiaku yang ke-20 ini.
Kalau sudah begini aku sudah tak bisa apa-apa lagi kecuali mendoakan beliau. Jarak yang terbentang antara Surabaya-Ponorogo seakan semakin jauh saja jika sudah kangen pelukan dan candaan beliau seperti sekarang ini. Tapi aku yakin di seberang sana, jam sekian ibu telah beristirahat dikamar setelah penat seharian berkutat dengan pekerjaan rumah. Selamat istirahat ibu. Salam kangen dari anakmu yang tak mengerti betapa engkau mencintainya dengan segenap kasihmu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar